Membawakan karakter perempuan dan gerak-gerak tarian yang " diplesetkan"
Didik selalu berhasil membuat penontonnya tertawa terpingkal-pingkal.
Setelah puluhan tahun belajar seni tari dari berbagai daerah, antara lain Jawa, Sunda, Bali, dan Jepang, kini Didik berhasil memadukan semua gaya itu menjadi tarian dengan gayanya sendiri yang khas dan humoris. Dengan kemampuannya itu Didik meraih sukses sebagai penari yang melintas batas budaya dan negara.
Penampilannya yang selalu mengundang kegembiraan itu tidak hanya dapat dinikmati di atas panggung tapi juga dalam hidup kesehariannya. Tawa renyah yang selalu dihadirkannya seolah membuat orang tidak percaya bahwa iapun pernah menderita. Padahal sebenarnya kehidupan lelaki kelahiran Temanggung, 13 November 1954 itu tidak tergolong berkelimpahan.
Terlahir sebagai Kwee Tjoen Lian yang kemudian diganti menjadi Kwee Yoe An karena sakit-sakitan, ia sulung dari lima bersaudara pasangan Kwee Yoe Tiang dan Suminah. Keluarga besarnya hidup pas-pasan. Ayahnya pedagang kulit sapi dan kambing yang bangkrut dan kemudian menjadi supir truk. Ibunya membuka warung kelontong kecil-kecilan. Begitu seret rejeki keluarga ini sampai-sampai Didik kecil harus ikut bekerja membantu orang tuanya.
Meski dari segi materi tumbuh dalam keluarga yang berkekurangan tetapi Didik kecil selalu berkelimpahan dengan kasih sayang. Dalam kesempitan materi, ia menikmati masa kecilnya dengan bekerja, belajar, dan menonton berbagai kesenian, ketoprak, ludruk, dan wayang yang akhirnya mengasah rasa seninya.
Di masa itu, Didik bukan hanya belajar bekerja keras tapi juga belajar bersabar. Sejak kecil ia memang suka membawakan tarian yang lemah gemulai seperti perempuan, karena itu ia diejek oleh orang-orang sekitarnya, " Kamu ini anak laki-laki apaan sih? Kok menarinya seperti perempuan?". Setiap kali diejek, ia menjadi sangat sedih. Ia hanya bisa diam, tidak membalas dan tidak mengadu pada orang tuanya. Ia hanya berdoa sambil menangis, " Tuhan, aku marah tapi aku tidak akan membalasnya. Aku yakin Kamulah yang akan membalaskannya untukku." Setelah itu, iapun menjadi lega dan malah lebih semangat berlatih menari. Baru bertahun-tahun kemudian doanya itu terjawab.
Dari pengalaman hidup, perlahan-lahan iapun memahami bahwa semua hal yang membuatnya sedih, kemiskinan, dan penghinaan hanyalah cara Tuhan mengajaknya bercanda. Ia menjadi yakin Tuhan tidak akan membuatnya sengsara sehingga ia lebih tenang dan pasrah menghadapi berbagai persoalan. Pemahamannya ini merupakan buah pengasuhan orang tua dan kakek neneknya yang cukup disiplin. Pendidikan dan kasih sayang mereka menjadikannya pribadi yang setia dalam doa, tegar, suka bekerja keras, dan berperasaan halus.
Semasa kuliah di ASTI ( Akademi Seni Tari Indonesia ), ketika Didik mulai mendapat honor dari pertunjukan dan melatih menari, ia ingin sekali membeli sepeda motor supaya tidak kelelahan mengayuh sepedanya kesana kemari . Sejak itu ia betul-betul berhemat. Setelah uangnya terkumpul Rp 200.000, ia sangat gembira, motor yang diidamkan terbayang di depan mata. Tiba-tiba ia teringat ibunya. Bergegas ia pulang ke Temanggung dan mendapati perut ibunya membesar karena kanker. Dengan uang Rp 200.000 itu, ia segera membawa ibunya keYogyakarta untuk dioperasi. Operasi itu berhasil baik dan ibunyapun sehat kembali. Didik sangat bahagia, tak secuilpun rasa kecewa menghinggapinya karena belum bisa mendapatkan sepeda motor. Bagi dia kesehatan dan kebahagiaan ibunya diatas segala harta yang bisa ia punya. Ia memahami, saat itu Tuhan memang hanya mencandainya karena selang beberapa tahun, Didik bukan hanya bisa membeli sepeda motor tapi bahkan mobil dan rumah.
Sedari kecil dengan berbagai cara Didik belajar bersyukur dan berdoa. Ia suka ikut kakeknya yang beragama Konghucu berdoa di kelenteng dan neneknya yang Kristen ke gereja. Kini ia adalah pengikut Kristen Protestan yang taat. Ia mengakui bahwa ia adalah laki-laki yang cengeng (mudah menangis) setiap kali berdoa. Sebenarnya ia ingin sekali rajin ke gereja tapi kesibukan yang sangat padat membuatnya sering tidak punya kesempatan untuk melaksanakannya setiap minggu. Untuk itu setiap ada kesempatan ia mengundang pendeta untuk mengadakan persekutuan doa di rumahnya. Dalam persekutuan doa itulah ia selalu terharu dan menangis saat memberi kesaksian akan kebesaran Tuhan yang telah ia alami.
Salah satu kesaksiannya adalah tentang rahasia kesuksesannya. Dengan mantap ia mengatakan " Ora et Labora ", dalam segala kesibukan saya selalu berdoa, dimanapun. Setiap kali akan manggung, saya selalu menyediakan waktu untuk berkonsentrasi, kemudian berdoa Syahadat Para Rasul, Bapa Kami dan Salam Maria dari buku doa pemberian Suster Leonie, kakak angkat saya. Tak lupa saya juga selalu mohon restu pada semua guru-guru tari saya yang telah almarhum.
Selama bertahun-tahun Didik sungguh-sungguh merasakan bahwa doa adalah kekuatan di balik semua kesuksesannya. Keyakinan ini membuatnya tidak berani sombong." Saya mengakui, ketika menari seolah-olah ada kekuatan di luar diri yang ikut menggerakkan dan menghiasi tubuh saya. Saya yakin, kekuatan saya sendiri tidak akan mampu menyelenggarakannya tetapi kekuatan itulah yang menjadikan tarian yang saya bawakan terlihat begitu indah dan memberi kegembiraan bagi banyak orang".
Menurut pengakuannya sudah ada banyak orang yang mengamini hal itu. Mereka bilang, ketika menonton Didik menari, mereka melihat pancaran aura yang sama sekali lain dari kesehariannya. Misalnya, dalam suatu pertunjukan seorang ibu melihat ada burung merpati mengelilingi Didik menari. Setelah pertunjukan rampung, ia langsung menelepon Didik menyatakan kekagumannya, " Proficiat, Mas! Tarianmu benar-benar indah, apalagi ada burung merpatinya ". Kaget juga Didik menerima komentar itu karena sebenarnya ia sama sekali tidak menggunakan burung merpati dalam tariannya itu.
Dalam suatu perjalanan ke luar negeri, tas Didik yang berisi passport, uang, kamera, dan dokumen berharga lainnya ketinggalan di kereta api. Menurut staf KBRI yang dilaporinya tidak ada harapan tas akan kembali. Tentu saja Didik shock, tidak bisa makan dan tidur, tapi selang 2 hari setelah kejadian ia ditelepon oleh staf KBRI bahwa tasnya telah ditemukan. Ajaib juga, setelah diperiksa semua isinya utuh, ini pasti karena buku doa kumal pemberian Suster Leonie ada di dalamnya, Didik hanya bisa tertawa bahagia. Lagi-lagi Tuhan mengajaknya bercanda.
Dalam hidup Didik, ada begitu banyak mukjizat yang telah dibuat Tuhan. Dulu Didik masih berdebar-debar dan menangis sedih setiap kali menghadapi persoalan, tapi kini ia benar-benar tenang dan pasrah. Bagi Didik, Tuhan sering kali memberinya hadiah-hadiah yang tak terduga dan membuatnya bahagia. Pernah pada suatu tur kebudayaan di Eropa, karena perubahan jadwal yang tak terduga, ia tiba-tiba punya kesempatan berziarah ke Vatikan dan berdoa di Gereja St. Petrus dengan khusyuk, ia juga sempat ke Gunung Monserrat untuk mengunjungi Patung Bunda Maria Hitam.
Itulah Didik Nini Thowok yang kesuksesannya tak bisa dilepaskan dari ketekunannya berdoa. Semakin ia berdoa, semakin ia meyakini bahwa Tuhanlah satu-satunya kekuatan dalam hidupnya. Dengan demikian, ia tetap tidak sombong. Didik tetap hidup dengan sederhana di rumahnya yang sederhana di Jl. Jatimulyo, Yogyakarta, di pinggir sungai yang ditinggalinya sejak tahun 1980-an.
Kini, setelah semua cita-cita masa kecilnya terwujud, ia hanya ingin bersyukur dan bersyukur. Untuk itu ia berbagi kebahagiaan dengan mendirikan yayasan yang menyantuni biaya pendidikan 60 anak. Dan di usianya yang ke-50, kebahagiaannya semakin lengkap ketika ia boleh mengasuh seorang bayi laki-laki yang ia beri nama Aditya Awaras Hadiprayitno, setelah menantikan selama bertahun-tahun.
Menjadi saksi kebesaran Tuhan atas dirinya, ia hanya bisa berkata, " Saya percaya, kesuksesan dan kebahagiaan saya adalah jawaban Tuhan atas semua doa-doa saya. Bahkan sekarang tidak ada lagi yang bisa menghina saya karena menarikan tarian perempuan. Ya, Tuhan memang selalu menguji saya sampai batas waktu terakhir, sampai-sampai, setiap kali saya berdoa, saya tidak tahu lagi apakah saya harus menangis atau tertawa. Memang, Tuhan itu suka bercanda."
Sumber: Rumah Renungan
0 komentar:
Posting Komentar