Hamba identik dengan sesuatu yang tidak ada nilainya. Oleh karena itu tidak ada seorang pun di dunia ini yang berkeinginan untuk menjadi seorang hamba. Hal ini tidak hanya terjadi pada zaman ini. Pada zaman pelayanan Tuhan Yesus hal ini telah ada. Murid-murid Tuhan Yesus sendiri memiliki persepsi yang berbeda denganNya masalah kebesaran. Murid-murid itu memikirkan tentang kebesaran dalam pengertian umum. Tetapi Tuhan Yesus berkata, “siapa yang mau menjadi yang terbesar diantaramu hendaklah ia menjadi pelayanmu”. Dengan kata lain, jika seseorang ingin menjadi yang terbesar, ia harus menjadi hamba dari orang lain.
Dalam ensiklopedi Alkitab Masa Kini hamba dijelaskan sebagai berikut: “Kata Ibrani ‘eved, ‘budak, hamba pelayan’ artinya seseorang yang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk melaksanakan kehendak orang lain. Ia pekerja yang menjadi milik tuannya. Di luar Alkitab kata itu berarti budak; hamba yang melayani; bawahan dalam politik; keterangan tentang diri sendiri untuk menunjukkan kerendahan hati
”.1
Konsep tentang menjadi seorang hamba pada umumnya dipandang rendah dalam masyarakat kita. Rata-rata pegawai tidak suka menganggap dirinya sebagai hamba dari majikannya. Kebanyakan manajer tidak ingin menjadi hamba dari para pegawai. Golongan pejabat tidak mau menjadi hamba dari tingkat manajer. Konsep melayani dipandang hina di dunia. Dunia menginginkan suatu gelar, kedudukan, nama besar, seorang pelayan dan seorang yang melayani mereka”.2
Sikap seorang hamba sangatlah penting, tetapi itu harus merupakan sikap yang ditunjukkan dalam setiap segi kehidupan dan bukan dalam pelayanan saja”.3
Sebagai pemimpin Kristen (gembala), dasar etika dan moral merupakan landasan yang harus dipegang erat dalam menjalankan tugas dan tangung jawabnya untuk diaplikasikan dalam kehidupan berjemaat, agar pertumbuhan dan perkembangan pelayanan gereja dapat terwujud. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang berhasil adalah seorang pemimpin yang rendah hati. Pemimpin yang melayani dan berjiwa hamba.
Lao-tze, seorang filsuf Cina diabad ke enam, mengatakan: “seorang pemimpin adalah orang yang melayani”.4
Agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan, seorang pemimpin harus bertangung jawab dan memikul tugas tersebut secara sadar. Kesadaran itu diharapkan dapat meraih hasil karena kepercayaan yang dipikulnya bukan atas penunjukkan atau rekayasa, melainkan Tuhan sendiri yang memberi kepercayaan itu kepadanya sebagai manusia yang dianggapNya mampu.
Pemimpin selain memikul tanggungjawab, ia juga harus mampu mengambil tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Artinya, semua tanggung jawab yang diberikan kepadanya tak sekadar jabatan basa-basi, melainkan dengan penuh kesadaran dan sikap kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya merupakan yang harus dijalankan.
Resiko sebagai pemimpin rohani (gembala), harus bertanggungjawab kepada atasannya (Tuhan Yesus Kristus) dan bawahan (Jemaat) yang dipimpinnya. Sikap ini merupakan bagian dari kepemimpinan di ladang Tuhan, yang senantiasa harus dijaga dan dipelihara, sehingga keberhasilan itu dapat diraih dengan sikap rendah hati.
Kristus adalah teladan pemimpin yang rendah hati. Kristus datang di dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Itulah yang Kristus inginkan untuk dilakukan oleh pemimpin-pemimpin saat ini. Sebagai pemimpin di tengah-tengah umat Allah, kita disebut juga sebagai “pelayan”.
Tugas sebagai pelayan Tuhan tidak mudah. Namun, jika kesadaran sebagai pelayanan adalah atas anugerah Allah, sudah pasti semuanya akan berjalan seturut kehendak-Nya. Sebaliknya, jika semua beban yang disandang itu dimonopoli sendiri secara kedagingan, pekerjaan besar itu tak akan berhasil.
Dalam Perjanjian Baru, peranan Yesus Kristus juga beralaskan pada model kepemimpinan yang mengajar melalui perkataan dan perbuatan-Nya, ia selalu memberi contoh konkrit terhadap murid-murid-Nya. Itu sebabnya, jika dalam kepemimpinan rohani merunjuk pada gaya kepemimpinan sekuler, pasti akan memenuhi hambatan dan kegagalan. Hal ini dikarenakan ia memegakan diri dengan pangkat, jabatan dan kekuasaan sebagai simbol status quo.
Adapun gaya kepemimpinan dalam pelayan di ladang Tuhan, harus menggunakan pelayanan kasih yang akan mengekspresikan kelemah-lembutan dan kesabaran. Dengan rendah hati, seorang pemimpin itu dapat meraih keberhasilan. Gottfied Osei-Mensah mengatakan, “sepanjang perjalanan-Nya dan khususnya dalam hubungan-Nya dengan murid-murid-Nya, Yesus konsisten mempraktekkan model kepemimpinan yang melayani ini, yang diharapkan-Nya akan menjadi jati diri pengikut-Nya. Sama seperti Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. 5
Menjadi pemimpin yang baik dan berhasil itu harus bersikap melayani, seperti Yesus Kristus membasuh kaki para murid-murid-Nya, sebab melayani dengan rendah hati itu, tidak bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dalam memikul tanggung jawab jabatan. Justru sikap melayani seperti itulah, keteladanan Yesus menjadi cermin bagi pemimpin-pemimpin saat ini yang mau melayani dengan sungguh-sungguh. Hal ini dapat dilihat dalam Firman Tuhan, “Sebab aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya”. (Yohanes 13:15-15)
Sikap pelayanan Yesus inilah yang dapat menjadikan para pemimpin gereja, dalam hal ini gembala sidang, untuk menirukan apa yang telah diperbuat Yesus semasa hidupnya, yakni melayani dan mengasihi.
Mengapa seorang pemimpin harus menjadi seorang hamba? Karena “Hamba itu tidak egois, seorang yang mengabdi kepada kesejahteraan dan kebutuhan orang-orang lain. Seseorang yang tidak terlalu sibuk dengan kehidupan dan kepentingannya sendiri, melainkan hidup untuk melayani orang lain juga. Karena itu seorang hamba juga tidak suka menuruti kehendaknya sendiri”.6
Tuhan Yesus sebagai pemimpin besar dijamannya juga melakukan hal ini. Dia mengatakan “bukan kehendakKu, melainkan kehendak Mulah yang tejadi”. Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan kepada murid-muridNya, “kalian harus memenuhi segala keperluan dan kebutuhan-kebutuhanKu dan layanilah Aku”. Melainkan, “Aku datang untuk melayani dan memberikan nyawaKu menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10: 45).
Seorang hamba juga tidak sombong, melainkan rendah hati. Karena itu seorang hamba tidak mudah sakit hati atau marah. Seorang hamba tidak mempunyai pendapat yang tinggi tentang dirinya. Atau menjadi marah ketika ia tidak dikenali orang (Roma 12:3; Kolose 3:22-24). Bahkan seorang hamba tidak suka menuntut atau meminta persamaan hak. Seorang hamba sejati itu “miskin” dalam arti tidak suka menuntut hak-haknya, atau menuntut bahwa ia layak menerima lebih banyak dari itu, lebih baik dari itu ataupun persamaan. Seorang hamba adalah seorang apa adanya. Ia tidak merasa perlu untuk mempertahankan nama baik. Ia tidak mempunyai roh persaingan. Ia berusaha untuk menguatkan dan mendorong saudara-saudara seimannya dimana pun ia berada, namun tetap merasa puas untuk tetap tinggal “dibalakang layar”. Hamba rela mengerjakan pekerjaan yang melebihi tugasnya dan tetap tidak mengharapkan suatu ucapan terima kasih, atau suatu tepukan punggung”.7
Sebagaimana Tuhan Yesus, seorang pemimpin juga harus seorang yang rendah hati, tidak sombong. Bahkan ia tidak boleh meminta orang untuk melayaninya melainkan berusaha untuk melayani orang lain. Dengan demikian, para bawahanya akan menghargainya dan akan berusaha untuk melakukan hal yang sama dengannya terhadap orang-orang lain.
Seorang pemimpin yang baik tidak boleh menjadi seperti bos. Karena bos dan pemimpin memiliki perbedaan. John Maxwell memberikan perbedaan antara pemimpin dengan bos sebagai berikut: “Bos menggiring pekerjanya; pemimpin melatih mereka. Bos tergantung pada wewenang; pemimpin pada itikad baik. Bos menimbulkan rasa takut; pemimpin menimbulkan antusiasme. Bos mengatakan “aku”; pemimpin mengatakan “kita”. Bos menetapkan kesalahan untuk kemacetan; pemimpin memperbaiki kemacetan. Bos tahu bagaimana itu dilakukan; pemimpin menunjukkan caranya. Bos mengatakan “jalan”; pemimpin mengatakan “mari kita jalan”.8
Dengan demikian, apakah seorang pemimpin harus melayani atau adakah gaya alternatif lain bagi seorang pemimpin? Mengenai hal ini Hanz Finsel mengatakan, bahwa “Kalau Dia Tuhan dari segala tuhan dan Raja dari segala raja saja mau melayani semua orang, mana mungkin saya, dalam benak saya, menyangka bahwa saya harus dilayani oleh mereka yang saya pimpin?”9
Pdt. Ferdy Manggaribet, MA
0 komentar:
Posting Komentar